Sabtu, 29 Mei 2010

NAMAKU KARTI

Namaku Karti lengkapnya Sukarti

Umur 30 tahun

Tidak tamat SD

Hidungku mancung tak jauh beda dengan bintang film india “kuch-kuch hota hai”, tapi mata sipit bak orang cina, dan kulit sawo matang laksana orang madura. Pokoknya nano-nano, asyik dan rame.

Waktu kecil mainanku softex dan kondom yang banyak tercecer di bawah amben ibuku. Tak kenal barbie ataupun winnie the pooh,sebab ibuku tak pernah membelikannya. Tapi ibuku sangat sayang padaku, tak pernah sekalipun marah meski kondom simpanannya sering kututupi. Bahkan aku masih ingat waktu aku merengek minta dibeliin es krim, sedangkan ibu berbaring di amben karena selangkangannya terasa perih dan nyeri yang sudah seminggu tak diobati karena tak punya uang. Tapi ibu tak mengeluh ataupun marah, dengan tertatih-tatih Ia bangkit lantas dengan make up murahan ibupun keluar dan pulang jam 10 malam sambil membawakan es krim permintaanku.

ibuku memang luar biasa!! ibu adalah pelindungku, pahlawanku, idolaku, atau jangan-jangan tuhanku. pernah aku ditanya guru waktu sekolah dulu mengenai cita-citaku, aku jawab ingin jadi pelacur. Sang guru kaget dan bertanya kenapa? Teman-teman menertawaiku sambil membantu menjawab pertanyaan sang guru “ibunya pelacur, bu!”. Memang, cita-citaku adalah jadi pelacur seperti ibuku karena bagiku surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, juga di sela-sela selangkangan ibu. Karena dari selangkangan itulah ibuku memberi makan tiga mulut yang tak berdaya: ibu, aku dan nenekku yang sudah tua.

Namaku Karti lengkapnya Sukarti

Umur 30 tahun

Pekerjaan Pelacur

Sebatang kara sebab 10 tahun lalu ibuku meninggal karena kelaminnya membusuk akibat keganasan penyakit raja singa (vaginistis, disebabkan oleh berbagai bakteri: gonorrhea, chlamydia, atau juga jamur). Padahal selama menekuni profesinya, ibu tak pernah lupa membawa bekal sekotak kondom non parfume, yang lebih murah dari yang beraroma jeruk, strowberi, dan entah apalagi; sebagai servis plus bagi para pelanggannya.

Sedangkan nenekku sudah lama meninggal sebelum aku meraih cita-citaku, dan bapakku? ach.. jangan mempertanyakanku hal yang satu ini, sebab aku tidak tahu. Tapi kata ibu, bapakku adalah malam. Karena malam selalu memberi ibu uang untuk menghidupi kami.

Sudah 10 tahun aku menjadi pelacur tepatnya sejak ibu meninggal. Tiap malam aku kuat melayani tujuh sampai sepuluh laki-laki yang lebih gagah dari bima. Mungkin berkat do’a yang selalu kupanjatkan “Allah yang di surga, semoga aku laku keras hari ini” (dikutip dari antologi puisi mbeling karya purwanto suseno “Do’a Seorang WTS”) dan berilah aku kekuatan sekuat kuda binal, amien.”

Aku memperoleh penghasilan yang banyak, tapi aku hanya menggunakan sebagian untuk keperluanku ala kadarnya dan sisanya aku berikan pada anak-anak jalanan yang kaki-kaki kecilnya tegar melangkah merajut sejarah menantang kehidupan. Pernah aku mengumpulkan anak-anak itu dalam sebuah rumah yang aku sewa dan memenuhi seluruh keperluannya mulai dari makan, baju, biaya sekolah dan lain-lainnya; tapi itu hanya berlangsung satu bulan karena hasutan masyarakat yang mengatakan bahwa itu adalah hasil melacur, uang haram. Akhirnya anak-anak itupun kembali lagi ke jalanan dengan bersimbah peluh mengais-ngais sisa makanan, mengorek-ngorek sampah, puntung, atau mengamen di perempatan jalan.

Namaku Karti lengkapnya Sukarti

Umur 30 tahun

Tidak tamat SD

Bukannya aku tidak pernah terpikir untuk berhenti jadi pelacur dan mencari pekerjaan lain yang layak. Tapi masyarakat sudah memberikan garis batas bahwa aku adalah sampah. Pernah aku buka warung kopi dengan aneka macam gorengan tapi hanya bertahan sampai seminggu. Sebab laki-laki yang mampir ke warungku selalu saja meninggalkan remasan di pantat bahkan payudaraku. Aku juga pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tapi lagi-lagi nestapa yang aku dapat. Belum satu bulan aku bekerja, aku sudah diperkosa oleh majikan beserta dua anak laki-lakinya. Pernah pula aku ditawari seseorang untuk dijadikan model sampul tabloidnya tapi terpaksa aku tolak sebab bukan wajah nano-nanoku yang di potret tapi lagi-lagi pantat dan payudaraku yang di ekspos. Akhirnya aku sadari bila satu-satunya yang berharga dari diriku adalah kemolekan tubuhku. Apa boleh buat, aku harus memanfaatkan satu-satunya kelebihanku itu untuk menyambung hidup. Kembali aku jadi pelacur, profesi yang banyak menawarkan keuntungan dan penghasilan yang lebih menjanjikan. Serta aku bisa mengenal banyak orang dengan mata pencaharian yang berbeda-beda, karakter dan nafsu yang berbeda pula.

Namaku Karti

Umur 30 tahun

Tidak tamat SD

Aku merasa diam-diam masyarakat membutuhkanku. Para suami yang tidak mendapatkan servis memuaskan dari istrinya lari kepadaku sebagai obat penawar kusuguhkan ala kamasutranya India, goddes-nya negeri Perancis, gladiator dan entah style apalagi. Sementara istrinya yang suka mengumpat dan menyebutku sebagai wanita perusak rumah tangga.

Orang juga diam-diam merasa berterima kasih padaku, lantaran suaminya kembali bergairah setelah menikmatiku. Aku tidak peduli apakah rumah tangganya mereka berantakan atau justru tambah harmonis, aku hanya menyambung hidup, titik. Ini adahal hidupku bukan orang lain. Biarpun masyarakat menganggapku sampah, pak kyai selalu menunjukku sebagai calon penghuni neraka lewat khutbah-khutbahnya, dan polisi juga tak luput memberi stempel sebagai perusak ketertiban, aku tak peduli. Mereka hanya pintar menuding, tanpa melihatku sebagai manusia seperti mereka yang punya mulut untuk disuapi. Adakah alternatif lain selain sekedar melarang, menghukumi haram, mencela, dan mengisolasi?? ini jelas tidak adil. Seperti dua malam yang lalu sebelum aku tiba di sini, ketika aku menunggu pelanggan di pinggir jalan seperti biasa, dari jauh sudah ku dengar sirene razia. Teman-teman seprofesiku sudah pada kabur semua, sementara aku tetap mematung. Aku tak pernah lari, sebab aku yakin aku bukan penjahat. Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa, jadi mengapa harus lari. Toh aku hanya berjualan, hanya berdagang seperti pedagang-pedagang yang lain meski yang aku jual itu tubuhku. Tapi itukan tubuhku sendiri bukan tubuh orang lain, jadi mengapa harus takut.

Akhirnya petugas-petugas razia itu hanya mendapatiku seorang diri. Dengan lagak bak pahlawan mereka menanyakan KTP-ku, tapi sebelum aku tunjukkan, tangan mereka sudah merogoh kutangku seolah-olah KTP itu aku selipkan di BH. Sementara yang lain menyingkap rokku dan merogoh celana dalamku. Ach... mereka bukannya mencari KTP-ku tapi sengaja mengebor-ngebor celengan hidupku.

Aku hanya diam sambil meneteskan air mata. Biarlah, biarlah, biarlah. Mereka punya kuasa, punya hukum, punya undang-undang; sementara aku hanya punya air mata. Sampai akhirnya aku sampai di sini, di penjara ini. Mungkin ini tempatku, alamatku, barangkali disinilah aku mendapat kedamaian. Tapi satu yang aku yakin bahwa aku bukan penjahat. Aku hanyalah Karti lengkapnya Sukarti, umur 30 tahun, tidak tamat SD dan profesi pelacur. Aku tak perduli asal tidak melacurkan negeri ini, karena negeri ini bukan lonte.

2 komentar:

  1. penuh kontroversi memang...basanya kurang lugas dikit...cuman bagus qo...keren akoe suka....

    BalasHapus
  2. Memang tulisan ini mengundang empati dan bersikap kritis kpd masyarakat agar jangan hanya menjudge dan menghujat, tapi jangan lah keadaan hidup yang sulit dijadikan pembenaran terhadap perbuatan salah.

    BalasHapus