Sabtu, 29 Mei 2010

MENGAPA HARUS PANCASILA??

Persatuan adalah kata yang diucapkan oleh hampir seluruh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI dalam merumuskan dasar negara tahun 1945. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan pidato yang mendapat sambutan sangat meriah dari para anggota BPUPKI yang menegaskan tentang hal ini.

“Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua.”

Negara itu tentu didiami oleh bangsa. Menurut Renan, syarat bangsa adalah “kehendak untuk bersatu”. Soekarno menambahkan dengan mengutip anggota BPUPKI yang lain Bagus Hadikusumo, yang dibutuhkan adalah persatuan antara orang dengan tempat, antara manusia dengan tempatnya. Tempat itu tidak lain dari tanah air. Tanah air itu adalah suatu kesatuan.

“Minangkabau bukanlah satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Jogya hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang sudah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah menjadi ‘character gemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu dan sekali lagi satu!”

Tepuk tangan paling ramai diberikan setelah ia berpidato. Mengapa hal ini terjadi?

Sejak remaja Soekarno mengagumi gaya HOS Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam. Kekaguman itu tumbuh bahkan sejak Soekarno tinggal di rumah tokoh itu di Surabaya. Di ruang kamarnya yang sempit pada malam hari ia naik ke atas meja dan berlatih berpidato. Ia memang sudah membayangkan berbicara di depan rakyat banyak untuk menyampaikan pesan kebangsaan.

Pidato 1 Juni 1945 dimulai dengan bagian pengantar yang sangat diharapkan pendengarnya tentang “merdeka selekas-lekasnya”. Perumpamaan yang digunakan oleh Bung Karno sangat mengena yakni kalau kita ingin menikah tidak perlu punya rumah dulu dengan perabot lengkap. Tentu gaya bahasa ini cocok dengan kondisi pada zaman itu.

Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 itu mendapatkan tantangan dengan tambahan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” yang kemudian diakomodasi dalam apa yang disebut Mukadimah (Sukarno) atau Piagam Jakarta (Muhammad Yamin) tanggal 22 Juni 1945.

Namun, ketika Pancasila disahkan sebagai dasar negara, maka ungkapan yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi menggunakan rumusan Piagam Jakarta. Ketiga peristiwa proses Pancasila sejak dicetuskan oleh Bung Karno, lalu menjadi Piagam Jakarta sampai dijadikan sebagai dasar negara, 18 Agustus memperlihatkan sikap kenegarawanan founding fathers kita saat itu. Rumusan itu merupakan kompromi yang memperlihatkan bahwa pendiri bangsa kita lebih mengutamakan persatuan, karena musuh sudah berada di depan pintu..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar